WWW.MERAIHMIMPI3.BLOGSPOT.COM. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Tenun Songket Sambas Mati Suri?

Kemajuan peradaban dan teknologi memang bagai dua sisi mata uang. Di satu sisi, dia sungguh menguntungkan. Tapi di sisi lain, dia akan menggilas yang pernah hadir dan tak sanggup bertahan.
Demikian dengan berbagai produk dan kebudayaan di Nusantara. Yang terdiri dari beribu kepulauan, tentu saja menghasilkan berbagai jenis ragam dan produk budaya berbeda. Ambil satu contoh saja tradisi menenun. Hampir di sebagian besar wilayah Indonesia, ada kerajinan penghasil bahan sandang ini. Dan menjadi satu pertanyaan adalah, sanggupkah warisan budaya tersebut, bertahan menghadapi era globalisasi? Mari kita lihat salah satu faktanya.
Nama tenun ini sesuai dengan nama daerahnya, tenun songket atau tenun ikat Sambas. Kerajinan tenun, kian hari seolah kian terpuruk pusaran waktu. Betapa tidak, hasil kerajinan luar biasa bersahaja itu, seakan mati suri. Mati segan hidup pun enggan.
Pasalnya?
Salah satunya, sungguh sulit memasarkan barang kerajinan ini keluar daerah. Tidak itu saja. Proses produksi juga tersendat. Para pengrajin tersandung dengan pengadaan bahan baku. Benang semakin sulit diperoleh. Kalau pun ada, harganya cukup mahal. Tak itu saja. Sekarang ini susah mencari penenun. Mereka banyak hijrah dan mencari pekerjaan lain di Malaysia.
Alasannya cukup manusiawi. Penghasilan dari menenun, tidak menghasilkan cukup uang. Bahkan, banyak pula pengrajin di daerah ini, menjadi penenun di Brunei. Di sana lebih menjanjikan dari segi pendapatan.
Banyak lika-liku dialami para pengrajin. Padahal, ketrampilan memintal dan merajut benang menjadi kain itu, usianya sudah cukup lama.
“Kerajinan tenun songket Sambas usianya sudah ratusan tahun,“ kata Sahidah (60 tahun), pengrajin dari Dusun Manggis, Desa Tumuk Manggis, Sambas.
Sahidah sudah tiga generasi membuat tenun. Dia mewarisi selembar kain. Usia kain itu mencapai seratusan tahun.
Kini, di desanya tinggal 15 pengrajin saja. Itu pun yang aktif hanya 3 pengrajin. Artinya, pengrajin lain akan membuat kain, bila ada pesanan.
Apa yang menjadi motif dan ciri khas kain songket Sambas?
Orang Sambas biasa menyebutnya dengan suji bilang. Kain songket Sambas, selalu ada pucuk rebungnya. Pucuk rebung merupakan bambu muda. Motif itu bentuknya segi tiga, memanjang dan lancip.
Samidah juga mengembangkan motif sendiri. Motif itu dia adopsi dari berbagai tanaman mau pun hewan. Salah satu yang dia kembangkan adalah motif daun gali. Daun gali pipih dan memanjang bentuknya. Jenis tetumbuhan ini, banyak dijumpai di sekitar sungai Sambas.
Untuk membuat pola dan motif, harus teliti dan tidak asal menggambar. Ada perkaliannya. Biasanya motif itu digambar terlebih dahulu di kertas bergaris dan berkotak-kotak kecil. Bila motif salah mengambarnya, cara menempatkan benang akan salah. Padahal, salah menempatkan satu benang saja, bisa salah semua.
Tenun songket Sambas tidak bisa dipisahkan dengan benang emas. Benang emas itulah sebagai penanda motif. Jaman dulu, benang emas terbuat dari benang emas colok. Ciri dari benang ini ringan dan tahan lama. Warnanya pun tidak pudar, meski telah berusia ratusan tahun.
Pengrajin tidak bisa mendapatkan benang itu lagi. Sekarang ini, pengrajin menggunakan benang emas dari Jepang dan India. Benang dari Jepang cirinya tahan lama dan warnanya tidak pudar. Benang India kasar dan warnanya gampang berubah. Untuk mendapatkan benang, mesti memesan dari Jakarta.
Warna tenun songket Sambas cukup beragam. Biasanya warna cerah. Ada warna merah manggis, orange, warna paru (pink), hijau dan hitam. Peruntukannya, tentu saja untuk perempuan dan lelaki. Ukuran tenun songket untuk perempuan 200 cm kali 1,05 cm. Untuk lelaki, biasa disebut kain sabuk, ukurannya 150 cm kali 60 cm.
Harga kain untuk perempuan yang bagus sekitar Rp 1,5 juta perlembar. Bila pelanggan ingin motif lain, dan motifnya tidak ada di sana, mereka bisa memesan motifnya. Untuk itu, mereka harus rela merogoh kantungnya Rp 2 juta. Kain yang biasa seharga Rp 200.000. Untuk kain lelaki, yang bagus harganya Rp 750.000. Dan yang biasa Rp 150.000.
Bila motif itu sulit, cara pengerjaannya selama satu bulan. Untuk motif biasa saja, sekitar dua minggu. Pengrajin biasanya bekerja dari pukul 7 hingga pukul 17.00. Antara waktu itu, ada jeda dua jam beristirahat. Karyawan banyak juga membawa pekerjaannya ke rumah. Sekarang ini, Sahidah mempunyai 10 karyawan. Bayaran pekerja berfariasi. Untuk kain perempuan yang bagus, pekerja bisa mendapatkan Rp 500.000 perlembar. Dan untuk kain biasa sekitar Rp 50.000.
Proses dari pengerjaan tenun songket Sambas lumayan rumit. Diperlukan kesabaran dan ketelitian melakukannya. Pekerjaan membuat kain melalui beberapa tahap. Pertama, narraw atau memintal. Kedua, nganek, menggabungkan dari perumahan kolong benang ke anekan. Ketiga, nattar, menggulung benang dengan papan tandayan. Keempat, ngubung, menghubungkan benang dari tandayan ke suri (merapatkan benang). Kelima, menenun. Keenam, nyongket, membuat bunga dan memasukkan benang emas ke motif tenunan. Dari semua proses itu, nganek merupakan pekerjaan paling sulit. Bahkan, di kampung itu, tinggal satu orang saja sanggup mengerjakannya.
Sahidah punya obsesi melestarikan tenun ikat ini. Caranya, dia mendidik dan mengajari masyarakat setempat menenun. Belajar menenun membutuhkan waktu lumayan lama. Supaya mampu menenun dengan baik, sperlu waktu sekitar 2 tahunan. Tapi, hal itu juga tergantung dari kecerdasan dan kemampuan seseorang, dalam belajar dan menyerap ilmu yang diberikan.
Pemasaran kain Sambas hanya berputar di sekitar Sambas. Dalam sebulan paling banter, 4-5 lembar. Masyarakat menggunakan kain songket Sambas untuk seserahan, atau mas kawin bagi perkawinan, atau menghadiri sebuah prosesi adat. Mayoritas pembeli biasanya warga Sambas. Atau, orang Sambas yang bermukim di daerah lain, dan masih punya keterikatan budaya dengan Sambas. Pembeli juga datang dari Pontianak, Jakarta, Malaysia dan Brunei.
Contohnya, Dayang Nazariah (59 tahun) dari Pontianak. Ketika menikah, usianya 24 tahun. Sekarang ini, dia masih menyimpan kain seserahan atau antaran itu dengan baik. Warna mau pun kondisi kain masih bagus.
Nah, bagaimana supaya kain songket ini awet dan tahan lama? Perlu perlakuan khusus. Kain Sambas tidak boleh dicuci dan dikucek. Bisa dicuci dengan dry laundry. Kalau pun orang mau mencuci, boleh dibilas saja. Kain ini tidak boleh dijemur di bawah terik matahari langsung, karena warna dan moifnya akan cepat memudar dan rusak.
Cara menjemurnya hanya diangin-anginkan saja. Cara menyimpannya pun perlu perlakuan khusus. Dilipat dengan bagus dan rapi, lalu meletakkannya di lemari. Bila hal itu Anda lakukan, maka kain songket Sambas akan menemani, hingga beberapa generasi ke depan.
Sahidah berharap pemerintah ikut berperan dalam melestarikan tenun ikat ini. Caranya, mempertemukan pengrajin dengan pasar. Hal itu bisa dilakukan dengan membuat pameran atau lainnya. Pemerintah musti memperhatikan industri kecil ini melalui kemudahan memperoleh kredit. Modal kecil membuatnya tak sanggup membeli benang langsung ke Jakarta.
Bila ke sana, dia harus membeli benang minimal 50 kg, supaya tidak tekor uang perjalanannya. Dia tentu saja tidak sanggup membeli benang sebesar itu. Membeli benang secara eceran, tentu saja membuatnya tersendat melakukan proses produksi.
Sahidah meminta pemerintah melindungi industri ini dari berbagai penjiplakan motif. Karenanya, pengrajin melalui Dekrenasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah) sudah berusaha mengajukan 180 motif yang ada ke Disperindag (Dinas Perindustrian dan Perdagangan), Sambas. Nyatanya, yang diterima baru 5 buah dari 13 yang diajukan.
Ya, itulah berbagai kendala yang selalu menghinggapi para pengrajin tradisional. Jangan sampai kain Sambas nasibnya seperti tempe. Makanan asli Indonesia, tapi dipatenkan Jepang dan Amerika. Atau seperti nasib batik, yang telah dipatenkan Malaysia.
Well, bila tidak kita sendiri yang peduli, siapa lagi?***
Sumber:
Foto by Muhlis Suhaeri, “Tenun Songket Sambas.”
Edisi Cetak, minggu ketiga Desember 2006, Matra Bisnis
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar